Selasa, 01 Mei 2012

Tafsir Narasi Banjir Besar Menurut Walter Lempp, Kejadian 5:1-12:3


Tafsir Narasi Banjir Besar Menurut Walter Lempp, Kejadian 5:1-12:3

Siapa yang tidak tahu kisah Nuh dan bahteranya yang ia penuhi dengan binatang-binatang yang telah ia ambil sepasang dari tiap jenis binatang yang ada di bumi sebelum air bah datang. Kisah air bah merupakan narasi yang kerap kita dengar sejak kecil di sekolah minggu, namun itu hanya sepintas dengan tafsiran bebas kita. Walter Lempp memaknai cerita tentang banjir besar tersebut dengan membandingkan cerita yang bersumber dari sumber Y dan sumber P. Ia mengibaratkan kedua sumber itu seperti benang merah dan biru yang saling berkaitan dan memiliki ikatan sehingga jalinannya menjadikan sesuatu yang indah. Sumber Y dan P memang berbeda dalam perbendaharaan katanya dalam melukiskan serba-serbi peristiwa air bah, namun perbedaan itu menyebabkan keduanya dapat saling bergantian mengisi kisah yang terdapat dalam Perjanjian Lama. Ia memaparkan narasi tersebut dengan meneliti kedua sumber secara terpisah. Dengan demikian ia mampu menafsirkan narasi itu.
Lempp berusaha menengahkan tentang dosa manusia sebagai sumber banjir besar itu. Dalam sumber Y dikatakan bahwa hal ini adalah sebuah bencana semesta alam yang merupakan hukuman dari Allah yang adil dan benar sebagai pembalasan akan pemberontakan manusia. Sedangkan sumber P yang berusaha menggiring pembaca untuk memusatkan perhatian pada keputusan dan perintah Allah dan hanya mengutarakan fakta-fakta dosa manusia dan tindakan-tindakan Allah menentang dosa itu, membawa kita melihat pertimbangan dan sikap Allah terhadap dosa. Dalam hal ini, hukuman yang diberikan Allah bukanlah tindakan sewenang-wenang dan sembarangan yang muncul begitu saja hanya karena panas hati Allah melihat tingkah laku manusia, melainkan hukuman yang Ia berikan ialah berdasarkan pengamatan yang telah terlebih dahulu Ia lakukan terhadap manusia tersebut. Allah berusaha menghentikan dosa beserta orang yang melakukannya dengan perantaraan hukumanNya yang hebat agar dapat menjadikan suatu dunia baru dan kehidupan baru yang penuh penghiburan. Hal ini memperlihatkan betapa berdaulatnya Allah, bahwa Allah tidak bergantung pada ciptaan-Nya, serta tidak membiarkan dosa berkelanjutan. Allah memberikan hukuman kepada manusia yang memberontak, namun ia tetap menyisakan beberapa orang, yaitu orang yang bergaul akrab dengan-Nya serta yang mematuhi perintah-perintah-Nya. Oleh karena itu, Allah memilih Nuh yang setia dan menurut kepada Allah yang telah Ia anggap sebagai teman sekerjaNya yang benar dan tidak bercela untuk membuat bahtera dan menyelamatkan keluarganya dan beberapa binatang yang telah dipilih untuk keberlangsungan kehidupan dunia setelah bencana banjir besar itu selesai.
Lempp juga menafsirkan adanya sebuah ungkapan penyesalan dari Allah karena telah menjadikan manusia di bumi dan hal itu memilukan hatiNya. Namun di dalam Alkitab sendiri terdapat pertentangan akan hal ini. Beberapa ayat seperti 1 Sam 15:11; Kej 6:6; Kel 32:14 menyatakan bahwa Allah menyesal akan tindakan-tindakan atau firman-firmanNya, namun di pihak lain terdapat pula beberapa ayat seperti 1 Sam 15:29;Bil 23: 19; Yer 4:28  yang menyatakan bahwa Allah tidak dapat menyesal. Kedua pernyataan tersebut memang terlihat seolah bertentangan, namun keduanya adalah satu dan bersesuaian. Allah sekali-kali tidak menyesal, yakni tidak mengubah rencanaNya dan perjanjianNya karena Allah bukan pembohong seperti manusia. Namun Allah mengubah tindakan kebijaksanaan itu dengan maksud mencapai tujuan yang tetap sama yakni keselamatan bagi manusia. Allah yang dapat merasakan penyesalan dan kesedihan menunjukkan bahwa Allah berada dalam hubungan yang pribadi dan intim dengan ciptaan-Nya. Dia memiliki kasih yang mendalam bagi umat manusia dan perhatian ilahi terhadap persoalan mereka. Allah menyesal atas hukuman yang diancamkan dan yang dilakukanNya, karena Ia melihat bahwa hati manusia berubah. Hukuman yang Ia berikan itu hanya merupakan satu segi dari segi kasih sayangNya. Oleh karena itu, setelah air bah surut, Allah menciptakan dunia dan kehidupan baru serta memberikan peraturan baru untuk kehidupan manusia di bumi.
Pesan teologis yang diutarakan Lempp adalah tentang bagaimana manusia seharusnya bertingkah laku, yakni berlaku seturut dengan kehendak Allah sang pencipta seperti Nuh yang benar dan tak bercela memiliki kesabaran dan berpengharapan hanya kepada Allah dan tentang bagaimana besarnya kasih Allah terhadap manusia sehingga Ia berkuasa untuk menegakkan keadilan terhadap manusia dan ciptaannya di bumi ini yang dianggapNya telah rusak karena dosa. Namun karena pada kenyataanya manusia yang tercipta di bumi adalah manusia pemberontak yang harus dimusnahkan agar dunia baru dapat diciptakan dan diisi dengan manusia yang lebih baik yang berakhlak mulia, maka air bah adalah satu-satunya cara yang tepat untuk menghukum manusia pada saat itu.
Saya setuju dengan pesan teologis teks menurut Lempp, karena menurut saya ia berusaha mengedepankan tentang masalah krisis moral yang terjadi pada manusia yang pasti akan berdampak lebih buruk bagi kehidupan manusia jika tidak dihentikan oleh Allah. Sehingga pantas saja jika Allah memberi hukuman terhadap manusia. Ia juga menekankan bahwa kejadian, peristiwa, riwayat hidup dan sejarah termasuk keselamatan adalah akibat dari kemauan dan perintah Allah (kuasa Allah). Allah menegakkan keadilan dengan kuasaNya terhadap ciptaanNya. Keadilan adalah tujuan dan maksud pemakaian kuasa, sedangkan kuasa hanyalah suatu alat dan perkakas yang digunkan untuk mencapai keadilan tersebut, seperti yang dilakukan oleh Allah.
Saya tidak memiliki tafsiran lain terhadap narasi banjir besar ini, namun ketika membaca tafsiran dari Walter Lempp tentang banjir besar ini, ada suatu pertanyaan yang muncul dibenak saya. Lempp menafsirkan bahwa Allah berkuasa untuk mendatangkan banjir besar untuk menghukum manusia yang penuh dengan dosa, namun mengapa Allah tidak mau menggunakan kekuasaanNya itu untuk mengubah hati dan pikiran manusia untuk tidak berbuat dosa lagi, sehingga bencana banjir besar tersebut seharusnya dapat dicegah bahkan tidak terjadi. Saya rasa Allah bukan tidak mampu akan hal itu karena Ia berkuasa atas segalanya, namun pertanyaan saya mengapa Allah tidak mau? Jika saja Allah mengubah hati dan pikiran manusia (mengontrol manusia), tentu saja manusia akan jauh dari dosa sehingga tidak perlu ada hukuman seperti air bah yang melanda manusia dan Allah juga tidak perlu menyesal sehingga mencipta dunia baru. Seorang manusia saja dapat menghipnotis dan mengkomandoi sesamanya hingga menjadi seorang penurut seperti zombie sesuai dengan keinginannya, mengapa Allah tidak melakukan demikian agar kehidupan di dunia ini dapat sesuai dengan kehendaknya? Namun demikian, saya tetap setuju dengan apa yang telah diutarakan oleh Lempp dalam bukunya yang berjudul Kejadian 5:1-12:3, karena ia menunjukan betapa berdaulatnya Allah yang penuh kasih itu, demi menegakkan keadilan dan karena kasih Allah terhadap manusia ciptaanNya maka ia melakukan hal (hukuman) seperti itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar