Selasa, 01 Mei 2012

Kekerasan Seksual pada Anak Indonesia


Kekerasan Seksual  pada Anak Indonesia, salah satu Tindakan yang tidak Menjunjung Tinggi Nilai Kemanusiaan

1.      Pendahuluan
            Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun.[1] Sebagai seorang manusia, tentunya sang anak memiliki hak yang setara dengan manusia yang lain. Namun demikian, dalam kenyataannya ada begitu banyak hak anak yang dirampas oleh pihak-pihak tertentu, dengan  berbagai macam cara yang mereka lakukan hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Mereka kurang menyadari bahwa anak merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, yang harus dipelihara, dijaga dan ditumbuh kembangkan agar memberi buah yang berguna bagi hidup orang banyak. Salah satu cara yang mereka lakukan yaitu tindakan kekerasan seksual.  
            Kata ‘kekerasan’ dalam Kamus bahasa Indonesia edisi kedua, diartikan sebagai  perihal yang bersifat/berciri keras; perbuatan seseorang/kelompok yang menyebabkan kerusakan fisik/barang orang lain;  paksaan.[2] Jadi, kekerasan seksual merupakan tindakan yang memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual, yang dapat menyebabkan kerusakan fisik  pada orang tersebaut. Kekerasan seksual merupakan kekerasan yang paling mengerikan karena bentuk kekerasan ini biasanya diiringi oleh beberapa bentuk dan jenis kekerasan  yang lain, seperti: kekerasan fisik, sosiologis, maupun psikologis.
            Lalu Bagaimana kekerasan seksual pada anak Indonesia? Apa yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual pada anak ? Siapa-siapa saja yang menjadi pelaku tindakan kekerasan seksual pada anak? Tindakan apa yang diberikan Negara Indonesia menangani kasus ini? Itulah pertanyaan yang akan dibahas penulis dalam paper kecil ini.

2.         Kekerasan seksual yang dialami anak Indonesia
             Tak dapat dipungkiri bahwa kekerasan seksual yang dialami anak Indonesia bukan hanya terjadi saat ini saja, namun juga disaat yang telah silam. Penulis memperoleh beberapa banyak bukti mengenai hal ini. Salah satunya, kasus yang terjadi pada tahun 1996, di Bekasi.[3] Dalam kasus ini, diceritakan bahwa Meti seorang anak berusia 12 tahun pisah dari ibu kandungnya (Lilis) dan tinggal bersama ayah (Zam), ibu tiri (Ririn), dan satu adik perempuannya (Zuriah). Setelah pisah dari ibu kandungnya, sekolah Meti tidak karuan lagi, sehingga seringkali dia tinggal di rumah bersama ayahnya.  Ketika ibi tiri dan adiknya pergi, dia dipaksa melakukan hubungan seksual oleh ayahnya sendiri. Ayah Meti sangat melarang Meti, agar tidak melaporkan kejadian itu pada siapapun juga, termasuk ibu tiri dan adiknya.
             Yang paling mengerikan, sang ayah bukan hanya melakukan kekerasan seksual pada Meti secara lansung, namun juga tegah menjual Meti menjadi pelacur di salah satu tempat pelacuran yang ada di Jakarta. Alasan sang ayah menjual Meti adalah karena ia memerlukan uang untuk membangun rumahnya.  Selain itu juga, sebelum melakukan kekerasan seksual pada Meti, sang ayah telah lebih dahulu melakukannya pada Zuriah, adik Meti. Singkat cerita, pada akhirnya sang ayah di penjara selama 12 tahun.
              Kekerasan seksual merupakan kekerasan yang menonjol terjadi  pada anak-anak, dan mengalami peningkatan signifikan belakangan ini. Dalam catatan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) pada tahun 1992-2002 terdapat 2.611 kasus (65,8%) dari 3.969 kasus kekerasan seksual dialami anak-anak di bawah usia 18 tahun.  Selain itu, pada tahun 2005 diperkirakan  17 hingga 25 % anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. [4]  Dampak kekerasan seksual tidak hanya menimbulkan kesakitan pada anak secara psikis atau fisik, tetapi juga menimbulkan gangguan kesehatan refroduksi anak atau remaja, seperti penyakit menular seksual, kehamilan, tak dikehendaki dan masalah kesehatan lainnya. Kekerasan seksual menimbulkan konsekuensi psikologis jangka panjang yang mempengaruhi kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain, yaitu dengan hilangnya rasa percaya terhadap orang lain, diri sendiri, serta rusaknya self esteem anak.
 

3.         Pelaku dan Penyebab kekerasan seksual pada anak
             Kekerasan seksual  pada anak menunjuk pada tindakan pemaksaan seksual pada seorang anak oleh orang dewasa yang memiliki kekuatan, pengetahuan, dan akal yang lebih besar.[5] Para pelaku kekerasan seksual terhadap anak seringkali adalah orang-orang yang telah dikenal baik oleh korban, seperti  tetangga, kakek, sepupu, paman, guru, bahkan orang tua kandung sendiri, ayah angkat, seperti yang terjadi pada kasus yang dialami Meti pada ceritera di atas. Informasi dari Komnas Perlindungan Anak Indonesia sejak tahun 2006-kini (2009) menunjukan bahwa 1dari 6 kasus perkosaan adalah kasus incest, yaitu kekerasan yang dilakukan oleh keluarga sedarah ataupun orang yang tinggal dalam satu rumah (ayah kandung, saudara kandung, paman, kakek, ayah tiri, dan keponakan).[6]  Hal ini juga didukung oleh pendapat dari Liz hall dan Siobhan Lioyd yang mengatakan “Kekerasan seksual pada anak  banyak dilakukan oleh ayah atau seseorang yang memiliki figur seorang ayah.”[7]
             Penyebab adanya kasus-kasus kekerasan pada anak khususnya yang terjadi dalam keluarga, adalah karena ketidakharmonisan antara suami-istri yang seringkali menjadi pendorong yang kuat bagi sang suami melakukan tindakan kekerasan seksual pada anak perempuannya. Keadaan seperti akan semakin mudah dilakukan oleh sang ayah, karena selama ini ayah dianggap sebagai orang yang paling berkuasa dalam rumah tangga, sehingga anak tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan perlawanan, dan jika ada perlawanan, ujung-ujungnya anak juga yang mengalami kesakitan.
             Ada juga kekerasan seksual yang terjadi pada anak yang cacat. Dalam melakukan kekerasan pada anak yang cacat, pelaku menjadi sangat mudah melakukan tindakannya yang biadab tersebut, melihat kondisi anak cacat yang tidak  memungkinkan dia melakukan perlawanan, atau melaporkan kasus yang dia alami kepada banyak orang. Selain itu, ada sebagian anak yang juga terpaksa mengikuti kemauan si pelaku untuk berhubungan seksual, dikarenakan sang anak diberikan  uang atau hadiah lainnya, sebagai upah kesiapannya melakukan apa yang diinginkan oleh si pelaku.[8]


4.         Tindakan Negara mengenai  kekerasan seksual pada anak
            Sungguh tragis jika kita perhatikan situasi anak yang ada di Indonesia saat ini. Begitu banyak hak mereka yang tidak mereka  dapatkan  hanya karena kebiadaban orang-orang yang ada didekatnya. Padahal anak merupakan harapan tunas bangsa yang sangat berpengaruh bagi kehidupan masyarakat Indonesia dimasa mendatang. Posisi anak dalam pengambilan keputusan dan langkah-langkah pembangunan nasional harus menjadi pertimbangan utama.
            Negara telah berusaha melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya kekerasan pada anak. Banyak hukum yang dikeluarkan Negara demi terciptanya  kesejahteraan anak. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan anak, telah diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945,  Undang-undang No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1998 tentang Usaha Kesejahteraan Sosial bagi anak yang mempunyai masalah, Ratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-hak anak
            Namun entah mengapa kekerasan tetap saja meraja lelah dalam bangsa ini. Di dalam Pancasila sila kedua (Kemanusiaan yang adil dan beradab) tercantum nilai untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, termasuk nilai kemanusiaan pada seorang anak. Seringkali anak dipandang sebagai manusia yang tidak tahu apa-apa, yang belum mampu melakukan banyak hal. Mereka di klaim sebagai manusia yang tidak berguna.
           




[1] Candra Gautama, Convensi Hak Anak, (Jakarta: Lembaga Studi Pers & Pembangunan, 2000), hlm. 21.
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua, (Jakarta: Balai Pustaka,1999),hlm. 484.
[3] Mif. Baihaqi, Anak Indonesia Teraniaya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998), hlm. 10-17.
[4] Diakses dari http:// kekerasan pada anak , oleh Surianti Tundu pada tanggal 8 Desember 2009 pukul 13.47 WIB.
[5] Cynthia Crosson Tower, Child Abuse and Neglect, (Washington, D,C : National Education Association), hlm. 26.
[6] Artikel, Warta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), HLM. 18.
[7] Liz Hall & Siobhan Lioyd, Surviving Child Sexual Abuse, (New York, Philadelphia, London: The Falmers Press),    hlm. 3.
[8] Ibid., hlm. 12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar