Selasa, 01 Mei 2012

Dasar-dasar Kurikulum dalam Pengajaran Kristen


Dasar-dasar Kurikulum dalam Pengajaran Kristen

I.    Pendahuluan
Setelah pembahasan dasar-dasar Alkitab, teologis, dan filosofis sebagai dasar utama pada pengajaran, kita juga telah diperlengkapi dengan dasar historis dan sosiologis sebagai faktor penuntun implementasi secara kontekstual yang sama pentingnya dengan dasar utama. Kita juga telah membahas dasar psikologis yang menuntun kita mengetahui bagaimana cara orang membangun/berkembang, belajar, dan berinteraksi dengan sesamanya. Kini, kita akan membahas dasar kurikulum yang merupakan isi materi pembelajaran yang akan menuntun pengajar, naradidik maupun lembaga pengajaran  dalam mengimplementasikan ajaran.
 Sebagaimana telah disinggung di atas, ada banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya suatu kurikulum, baik kurikulum secara umum maupun kurikulum secara khusus (kurikulum Kristiani). Kali ini kelompok akan mencoba membahas faktor-faktor tersebut. Adapun materi yang disampaikan kelompok hanya berdasarkan satu sumber pustaka saja karya Robert R. Pazmino yaitu Foundational Issues in Christian Education-An Introduction in Evangelical Perspective, bab 7.

II.    Definisi kurikulum menurut beberapa tokoh
Buku yang dikarang Pazmino menyediakan definisi dari beberapa tokoh :
-          Kurikulum sebagai isi yang tersedia (content made available) untuk para siswa.
à Dwayne F. Huebner
-          Kurikulum sebagai perencanaan dan pengalaman belajar yang terarah dari para naradidik. àJohn Dewey
-          Kurikulum sebagai pengalaman aktual dari para naradidik  atau partisipan.
à Alice Miel
-          Secara umum, kurikulum termasuk material dan pengalaman dalam belajar. Secara spesifik, kurikulum adalah rangkaian pelajaran yang tertulis untuk belajar yang digunakan oleh edukasi Kristen.
à Lois E. LeBar
-          Kurikulum sebagai organisasi dari kegiatan belajar yang diarahkan oleh guru dan bertujuan akan adanya perubahan perilaku.
à Lois E. LeBar
-          Kurikulum sebagai isi yang tersedia (content made available) untuk para naradidik dan pengalaman belajar aktual mereka yang dibimbing oleh guru.
à Robert W. Pazmino
Tantangan dalam membuat kurikulum adalah untuk menyatukan baik isi dan pengalaman Kristiani sehingga pikiran dan kehidupan naradidik dipengaruhi dan diubah oleh kebenaran Tuhan. Lois E. LeBar berpendapat bahwa isi kekristenan tanpa pengalaman adalah hampa dan pengalaman tanpa isi adalah kebutaan. Isi yang esensial dari pengajaran Kristiani adalah kebenaran – kebenaran sebagaimana diungkapkan / diwahyukan oleh Kristus dan dalam Alkitab melalui bimbingan roh kudus.
Agar dapat menggabungkan baik isi maupun pengalaman yang dialami, pengajar Kristen dituntut untuk memperhatikan baik kebenaran dan kasih dalam pengajaran mereka serta pengalaman yang dialami oleh murid-muridnya. Pengajar dituntut untuk memperhatikan setiap muridnya yang berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, memperhatikan hal-hal yang mereka bagikan kepada muridnya dan mengungkapkan potensi transformatif dalam kehidupan muridnya, dan memperhatikan konteks di mana murid tersebut hidup, termasuk komunitas mereka dan dunia yang merefleksikan kasih Allah pada seluruh ciptaan-Nya.

III.    Pertanyaan-Pertanyaan Mendasar
Ada pertanyaan-pertanyaan mendasar yang perlu dipikirkan dalam membuat sebuah kurikulum :
-          Apakah yang akan diajarkan secara spesifik ?
-          Mengapa hal-hal ini yang akan diajarkan ?
-          Di manakah pengajaran akan dilakukan ?
-          Bagaimana pengajaran dilakukan ?
-          Kapan hal-hal baru diajarkan ?
-          Siapakah yang mengajar, dan siapakah yang diajar ?
-          Apa yang menyatukan prinsip-prinsip yang telah ada?

Melengkapi pertanyaan-pertanyaan di atas, Cam Waykoff mengajukan satu pertanyaan lagi, yaitu: dalam bidang apa pengajaran Kristen sebaiknya dijalankan ?  Hal ini menyangkut etos (sifat, karakter, atau mutu) kehidupan yang dikembangkan dalam ajaran.
Pertanyaan-pertanyaan dan jawaban yang dijelaskan di atas memungkinkan pendidikan Kristen membuat suatu bentuk kurikulum yang sesuai dengan kebutuhannya. Pertanyaan-pertanyaan dan jawaban di atas itu juga dapat membantu kita untuk menganalisa kurikulum yang sudah ada. Namun, sebaiknya kurikulum yang akan digunakan adalah kurikulum yang diciptakan sendiri karena akan lebih sesuai dengan konteks yang dimiliki.
Jika kita berniat untuk mengadopsi dan menggunakan kurikulum yang sudah ada, ada tujuh pedoman yang harus diperhatikan, yaitu:
  1. Apakah teologi penerbit dan penulis kurikulum cocok dengan teologi gereja yang akan mengadopsinya ? Apakah konsep-konsep teologi yang diberikan tepat untuk berbagai tingkatan usia ?
  2. Apakah kurikulum menegaskan bahwa Alkitab memiliki otoritas, dalam arti dipegang oleh Gereja atau berguna bagi masyarakat ? Apakah nasihat Kitab Suci yang diamanatkan dalam susunan kurikulum tersebut tepat pada kelompok usia tersebut ? Disamping Kitab Suci, adakah sumber lain yang dapat berfungsi dalam penyusunan kurikulum?
  3. Apakah aktivitas-aktivitas yang diberikan kepada para pelajar berhubungan sekaligus mengubah situasi kehidupan mereka? Apakah para pelajar secara aktif terlibat dalam pembelajaran dan ditantang untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang cocok dengan kelompok mereka mengenai iman Kristen?
  4. Apakah rencana pembelajaran memungkinkan materi yang akan diajarkan beradaptasi dengan batas waktu,  sumber-sumber yang tersedia, ukuran kelas, dan perbedaan kemampuan pelajar ?
  5. Apakah bahan-bahan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan, minat, dan perhatian para pelajar? Apakah para pelajar diperlengkapi dengan cara yang tepat untuk dapat mempergunakan iman Kristen dan didorong untuk menanggapi panggilan Kristus dalam segala bidang kehidupan?
  6. Apakah materi yang akan diajarkan menarik perhatian pelajar  ? Dapatkah kurikulum tersebut digunakan lebih dari sekali?

Mereka yang mengevaluasi harus menyadari kekuatan dan kelemahan materi yang ada dan kebutuhan-kebutuhan yang khusus dari tata cara pengajaran mereka. Para pengajar harus memperlengkapi diri untuk dapat menggunakan dan menyesuaikan diri dengan kurikulum yang telah diputuskan dengan para naradidik mereka dalam kelas-kelas.
Jika ingin mengembangkan suatu kurikulum, para pengajar Kristen harus mempertimbangkan  keberlanjutan, rangkaian, dan integrasi dari kurikulum tersebut. Keberlanjutan menilai sejauh mana tema-tema Alkitab, teologi, atau tema-tema yang berhubungan dengan kehidupan diajarkan secara terus-menerus bagi kelompok usia tertentu melalui rangkaian pelajaran yang diberikan. Rangkaian ialah ukuran bagimana arus pembelajaran dan pengetahuan dibangun dengan melihat pengetahuan yang sudah ada sebelumnya demi pembelajaran yang akan datang. Integrasi menilai sejauh mana usaha-usaha dalam suatu aspek program pengajaran, seperti pengajaran yang diajarkan dalam gereja, berhubungan dengan aspek-aspek yang lain, seperti Sekolah Minggu dan kegiatan pemuda. Hal-hal ini seringkali dituliskan oleh para penerbit dalam  perencanaan mereka tetapi pada akhirnya diabaikan.
Para pengajar merupakan kunci dalam pengajaran. Pengajar harus bersandar pada tuntunan Roh Kudus dan menunjukkan kasih yang sungguh-sungguh kepada para pelajar yang mereka didik. Kurikulum Allah melebihi bahan-bahan yang dapat ditulis oleh manusia, dan para pengajar harus fleksibel dalam menggunakan suatu kurikulum.

   IV.    Metafora-metafora bagi Kurikulum
Ada tiga metafora kurikulum yang diajukan oleh Herbert M. Kliebard, yaitu: metafora produksi, metafora pertumbuhan dan metafora perjalanan. Semua metafora ini memiliki pengaruh dalam pemikiran dan praktek bidang kurikulum, baik dalam pengajaran secara umum maupun dalam pengajaran Kristen.

  1. Metafora produksi
Dalam metafora ini, para pelajar dipandang sebagai bahan mentah yang akan ditransformasikan kedalam hasil akhir yang berguna melalui proses yang diberikan para guru. Para pengajar dipandang sebagai pemahat atau insinyur sosial yang secara aktif membentuk para pelajar. Pengajaran dilihat sebagai ilmu pengetahuan yang memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan dari para pelajar.
Pendukung terkuat dari konsep pengajaran ini ialah B. F. Skinner, yang menekankan pembentukan perilaku manusia melalui ketelitian dan kondisi yang sistematis, atau perubahan perilaku. Dalam bidang pembentukan kurikulum, Ralph Tyler mengembangkan dasar pemikiran yang berpengaruh dalam perencanaan dan penulisan kurikulum. Empat langkah-langkah dasar dari pemikiran ini memperkenalkan tujuan-tujuan pengajaran, memilih pengalaman-pengalaman pembelajaran yang tepat, mengatur pengalaman-pengalaman pembelajaran, dan mengevaluasi pembelajaran.
Kekuatan-kekuatan dari pemikiran Tyler, yaitu:
  1. Kerangka ini secara umum telah berhasil dan terkenal luas.
  2. Kerangka Tyler tidak menekankan rincian hal-hal yang kecil dalam penulisan tujuan.
  3. Kerangka Tyler merupakan contoh yang kuat untuk bidang-bidang teknis kurikulum. Aspek-aspek tersebut dapat diukur dan dievaluasi.
  4. Tyler menekankan kenetralan atau kebebasan dalam menghadapi perbedaan dalam tujuan.
  5. Menurut Tyler pengajaran merupakan proses perubahan pola-pola perilaku manusia. Perilaku menurut pemahamannya memiliki arti yang luas yang mencakup pemikiran, perasaan dan tindakan.
  6. Tyler memandang pelajar sebagai orang yang aktif dalam arti memberikan respon terhadap apa yang mereka telah terima. Pengalaman-pengalaman pembelajaran akan menyeimbangkan kedisiplinan dan kebebasan .
  7. Pemikiran Tyler berfokus pada perencanaan yang khusus untuk mencoba dan menempatkan tujuan program pengajaran.  

Adapun kelemahan dari metafora produksi, yaitu:
  1. Philip Jackson menyatakan bahwa pemahaman Tyler terlalu menyederhanakan relasi yang terjadi dalam kelas-kelas pengajaran. Pengajaran dari guru memang penting, tetapi kita juga tidak boleh melupakan pentingnya interaksi dalam kelas. Pengajaran dan perencanaan kurikulum harus mempertimbangkan kesempatan pelajar untuk saling berinteraksi.
  2. Perencanaan dan penerapan kurikulum lebih menyerupai suatu seni atau hasil karya daripada sekedar ilmu pengetahuan.
  3. Pemikiran Tyler dapat meniadakan pertimbangan-pertimbangan yang lain, seperti gaya yang berbeda dalam pembelajaran. Hal ini dapat membatasi keefektifan tujuan-tujuan yang ingin dicapai suatu kelompok. Seorang pengajar harus menyadari  respon, keseragaman, dan fleksibilitas dalam pengajaran.
  4. Pernyataan atau perumusan tujuan menjadi langkah yang penting dalam pemikiran Tyler, tetapi tidak cukup mendorong pertimbangan-pertimbangan suatu nilai atau filsafat seseorang.
  5. Patut dipertanyakan apakah tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, pada saat menunjukkan tujuan-tujuan eksternal yang menurut orang dicapai melalui pengalaman-pengalaman pembelajaran yang dimanipulasi, merupakan cara yang bermanfaat untuk menyusun perencanaan kurikulum  .
  6. Konsep Tyler tentang pengalaman belajar interaksi antara pelajar dan kondisi-kondisi di lingkungan luar gagal untuk berbicara mengenai hubungan antarpribadi yang sebenarnya mendasar dalam kegiatan belajar mengajar.
  7. Evaluasi dapat mengabaikan hasil-hasil laten karena berkonsentrasi pada hal-hal yang diantipasi saja. Hasil-hasil laten tersebut dapat saja bermanfaat bagi tujuan yang sebenarnya ingin diraih.   

  1. Metafora Pertumbuhan
Kiasan ini mengumpamakan kurikulum sebagai suatu program perawatan dan pemeliharaan bagi tumbuhan yang beraneka ragam dalam suatu wadah yang disebut greenhouse. Naradidik yang diumpamakan sebagai tumbuhan yang beraneka ragam dirawat secara khusus sesuai dengan kebutuhan masing-masing jenis oleh pengajar yang diumpamakan sebagai tukang kebun.
Perumpamaan ini berkonsentrasi pada kepribadian dari setiap naradidik dan kebutuhan akan motivasi untuk belajar. Kelemahan dari pendekatan perumpamaan ini  adalah cenderung berasumsi bahwa naradidik sudah pasti memiliki kecakapan dalam menyelesaikan tugas secara mandiri yang berdasarkan peningkatan motivasi. Selain itu karena cenderung memperhatikan kebutuhan personal/individu jadi mengabaikan pentingnya kebutuhan komunitas.

  1. Metafora Perjalanan
Pada jenis metafora ini, naradidik diumpamakan sebagai seorang wisatawan yang hendak  mengadakan perjalanan. Pengajar diumpamakan sebagai pemandu wisata yang membagikan pengalamannya kepada naradidik. Pengajar juga berperan sebagai rekanan/teman seperjalanan naradidik yang memberikan perhatian dan motivasi selama perjalanan itu berlangsung. Sedangkan proses mengajar adalah pandangan seperti sebuah upaya bekerjasama.

  V.    Tempat dari Nilai-Nilai dalam Kurikulum yang Eksplisit
Suatu kurikulum tentunya mengandung nilai-nilai ajaran yang berkaitan dengan minat, sikap, keterampilan, dan perilaku yang dapat mempengaruhi naradidik. Demikian juga bagi kurikulum bagi pengajaran Kristen, harus mengandung nilai-nilai kristiani yang sesuai dengan pandangan kekristenan. Ada empat hal yang membantu kita memahami bagaimana menempatkannya.
1.       Umat  Kristen harus memiliki dan menjalankan nilai-nilai yang dimilikinya.
2.       Umat Kristen harus menuangkan nilai-nilai itu ke dalam tujuan dari kurikulum.
3.       Kebutuhan untuk mengejar nilai-nilai institusi yang kita temui sehari-hari. Aturan institusi ini mencakup rumah, gereja, sekolah, komunitas, masyarakat umum, dan kelompok lainnya. Hidup tidak terpisahkan dari komunitas sosial dan organisasi.
4.       Evaluasi nilai-nilai menurut perkembangan kebutuhan secara berkesinambungan.

VI.    Hidden Curriculum (Kurikulum yang Tersembunyi)
Merujuk pada pandangan Vallance, kurikulum tersembunyi dikenal sebagai efek samping yang bersifat nonakademik dan sistematis dari pengajaran yang digunakan, tapi tidak dirasa cukup dibukukan bagi oleh referensi ke kurikulum yang jelas. Kurikulum yang eksplisit itu sendiri adalah pernyataan atau tujuan umum dan khusus dari sebuah program pengajaran. Vallance menyajikan 3 dimensi Hidden Curriculum:
1.       Kurikulum tersembunyi dapat mengacu pada suatu konteks dari pengajaran, termasuk interaksi naradidik-pengajar, susunan kelas, atau seluruh aturan organisasi dari pendirian pengajaran sebagai dunia kecil dari sistim nilai sosial.
2.       Kurikulum tersembunyi dapat menunjang pada jumlah dari proses operasional dalam atau melalui sekolah, gereja, atau rumah, mencakup nilai-nilai perolehan, sosialisasi, dan pemeliharaan dari struktur sosial.
3.       Kurikulum tersembunyi dapat mencakup pembedaan tingkatan dari maksud dan kedalaman yang “tersembunyi” berkisar dari hal yang kurang penting dan tidak diharapkan dari produk dari komposisi kurikular untuk hasil yang melekat lebih dalam dalam fungsi secara historis dari pengajaran dalam komunitas yang berbeda.

Ada sebuah contoh kurikulum tersembunyi dari sebuah universitas evangelis :
1.       Setiap orang dalam komunitas harus memiliki pengalaman pribadi dengan Yesus sebagai Tuhan dan Penyelamat.
2.       Ilmu pengetahuan, pelayanan, disiplin, atau ketaatan adalah nilai tertinggi dalam sekolah Kristen.
3.       Kebebasan dipandang sebagai musuh dari iman evangelis.
4.       Lulusan dari sekolah evangelis atau institusi sangat disanjung.
5.       Orang-orang evangelis adalah anggota dari partai republik; atau pemikir evangelis adalah anggota dari partai demokrat.
6.       Evangelis bukanlah komunis, aktivis sosial, atau pengusaha sukses. Evangelis adalah orang yang dicurigai jika mereka mengupayakan hal politik atau ekonomi.
7.       Evangelis adalah tulang punggung dari komunitas sosial kelas menengah di US.
8.       Komunitas  evangelis adalah orang-orang perwujudan dari sejarah kekuasaan kekristenan pada jaman modern.
9.       Jika Yesus hidup sekarang, Ia akan menjadi seorang evangelis.

VII.    The Null Curriculum (Kurikulum yang tidak ada)
                Elliot Eisner mendefinisikan the null curriculum sebagai sesuatu yang tidak diajarkan dengan sengaja. Menurutnya, apa yang tidak diajarkan mungkin sama pentingnya dengan apa yang diajarkan karena ketidaktahuan mempengaruhi salah satu pilihan yang dapat dipertimbangkan. Identifikasi dari null curriculum memungkinkan pengajar untuk mengenali keterbatasan dan penerimaan/ anggapan/ asumsi mereka terhadap usaha mereka.
                Pengajar Kristen harus mempertimbangkan null curriculum dalam rencana kurikulum, implementasi, dan evaluasi. Kurikulum yang eksplisit berhubungan dengan apa yang diajarkan, sedangkan null curriculum berhubungan dengan apa yang tidak diajarkan. Pada sisi lain, hidden curriculum lebih menekankan kepada apa yang diterima oleh seseorang, bukannya apa yang diajarkan oleh pengajar.               
Maria Harris mengatakan bahwa the null curriculum adalah sesuatu yang bersifat paradoks. Kurikulum ini ada karena kurikulum ini tidak ada. Null curriculum membantu kita untuk melihat pilihan-pilihan yang dapat kita pertimbangkan di luar apa yang telah kita pilih untuk ajarkan.  Null curriculum menjadikan sebuah dasar bagi kritik terhadap kurikulum yang telah ada.

A Larger Vision
                Sebuah penelitian terhadap kurikulum menyatakan bahwa mayoritas orang menetapkan apa yang perlu seorang pelajar ketahui, rasakan, atau lakukan sebagai sebuah hasil dari sebuah kelas tertentu. Kejelasan dan ketetapan dalam suatu hubungan adalah untuk sebuah tujuan, maksud, dan sebagai objek untuk memperkokoh dan menguatkan, tetapi visi yang luas disini maksudnya adalah mengritik sesuatu dengan menggunakan Injil sebagai sumbernya.
                Salah satu tokoh Alkitab yang dapat kita jadikan sebagai contoh untuk menjawab semua pertanyaan yang berhubungan dengan kurikulum ini adalah Titus. Titus aktif dalam pelayanan gereja, mengajar dalam berbagai macam kelompok, baik kelompok orang tua hingga yang muda sekalipun. Dalam pengajarannya, Titus mendorong setiap orang untuk dapat menjadi sesuatu ataupun sesuatu yang lain. Baginya, tidak hanya pengetahuan, perasaan dan kelakuan yang nampak sebagai panggilan, tapi bertanggung jawab untuk tujuan dan pandangan ke depan yang lebih besar.
                Titus mengajarkan kita untuk dapat mengajarkan yang benar dan apa yang sesuai dengan akal sehat. Kita dapat melihat contoh pengajaran Titus yang mengajarkan pria dan wanita dalam kelompok usia yang berbeda. Laki-laki dan perempuan dalam kelompok usia lebih tua memiliki cobaan yang berbeda, peluang dan kegagalan yang berbeda dari kelompok usia yang lebih muda. Titus mendesak mereka untuk menunjukkan karakter yang sesuai dengan status mereka yang lebih tua dari pada laki-laki muda. Mereka diharapkan mampu menjadi contoh bagi laki-laki muda dan menuntun laki-laki muda yang cenderung lebih labil dan belum mampu mengontrol diri. Laki-laki yang lebih tua hendaknya dapat hidup sederhana, terhormat, bijaksana, sehat dalam iman, dalam kasih dan dalam ketekunan.
Titus juga mengajarkan perempuan-perempuan yang lebih tua untuk dapat hidup sebagai orang-orang yang taat beribadah, tidak bersaksi dusta, tidak menjadi peminum, dan cakap dalam mengajarkan hal-hal yang baik. Perempuan-perempuan muda juga diajarkan oleh perempuan-perempuan yang lebih tua untuk mengasihi suami dan anak-anak mereka, hidup bijaksana dan suci, rajin mengatur rumah tangganya, baik hati dan taat kepada suaminya.
                Titus, sebagai orang muda, menjadikan dirinya sendiri sebagai pedoman dan contoh yang nyata dengan melakukan hal-hal yang baik dan memperlihatkan integritas, keseriusan, kebijaksaanannya dan kecakapannya.
Berdasarkan hal diatas dapat dikatakan bahwa Titus mengajarkan orang lain dengan mengandalkan kasih Allah, dengan menjadikan dirinya sebagai contoh dan dengan mengajarkan kebenaran dan dalam kasih.


1.       Mengandalkan kasih Allah
Kasih Allah tidak hanya menyelamatkan seseorang tetapi juga mengajar dan melatih seseorang itu untuk hidup sederhana, bijaksana dan saleh. Hubungan yang baik dengan Allah melalui doa dan tuntunan dari Roh Kudus juga menjadi elemen yang penting dalam proses belajar mengajar.
2.       Menjadikan diri sebagai pedoman dan contoh bagi orang lain
Pengajar harus menyadari bahwa mereka adalah contoh dan model yang akan ditiru oleh naradidiknya. Sama halnya dengan Titus yang selalu menjadikan dirinya sebagai contoh bagi para nara didiknya untuk dicontoh, hendaknya pengajar juga demikian. Titus menjadikan dirinya sendiri sebagai pedoman dan contoh yang nyata dengan melakukan hal-hal yang baik dan memperlihatkan integritas, keseriusan, kebijaksaanannya dan kecakapannya.
3.       Mengajarkan kebenaran dan kasih
Titus mengajarkan hal yang benar dan tidak menyesatkan orang lain. Titus mengajar dengan wewenang yang ia miliki namun secara bijaksana.

Kesimpulan
Kurikulum merupakan salah satu pendukung bagi pengajaran Kristen untuk mewujudkan pengajaran yang maksimal kepada para naradidik. Oleh karena itu, ada tiga hal yang  harus kita perhatikan yaitu: pembuatan, pengimplementasian, dan pengevaluasian kurikulum. Kurikulum harus disesuaikan dengan konteks yang ada dalam komunitas belajar-mengajar. Kita dapat saja mengikuti kurikulum dari pihak lain, namun ada baiknya juga bila kita menyusun kurikulum untuk komunitas kita sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar